(Merenung Bersama)
Tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa keprihatinan akan minim bahkan matinya panggilan di Eropa, juga mulai dirasakan di Indonesia. Di Indonesia sendiri, beberapa seminari terkenal sudah bersiap-siap mencari strategi baru dengan menjadikan SMA seminari sebagai sekolah “gado-gado” alias campuran. Memang data akurat mengenai prosentase yang masuk seminari sebagai seorang calon imam tidak dimiliki, namun hal ini tidak mengurangi nurani keprihatinan kita akan semakin berkurangnya panggilan sebagai imam, suster, bruder dan frater kekal.
Keprihatinan yang sama juga dialami dan dirasakan oleh Tarekat MSF Provinsi Kalimantan akan minimnya panggilan di bumi Kalimantan tempat MSF Provinsi Kalimantan berkarya. Keprihatinan MSF Provinsi Kalimantan kiranya sudah setua misi awal MSF di bumi Borneo.
Kita tidak perlu mencari penyebab semakin berkurangnya panggilan untuk menjalani kehidupan secara khusus, tidak perlu mempersalahkan arus globalisasi yang mengancam sekaligus meninabobokan Kaum Muda Katolik, tidak perlu mempersalahkan keluarga-keluarga kristiani yang tidak rela mempersembahkan putera-puterinya untuk menjalani kehidupan sebagai biarawan/biarawati. Tidak perlu menuding kaum berjubah yang kurang memberi kesaksian hidup sebagai orang-orang yang terpanggil.
Adalah lebih baik, saatnya kita sebagai satu Gereja-satu rekan kerja MSF Provinsi Kalimantan bangkit dari keprihatinan dan mengambil sebuah gerakan bersama untuk menghidupkan kembali semangat panggilan menjadi imam, bruder, suster dan frater kekal di bumi Kalimantan.
Gerak Langkah Bersama
Dalam pekan MSF Kalimantan yang baru saja dilaksanakan pada tanggal 19-25 September 2007 dengan narasumber Rm. Triatmaka, MSF, dibicarakan banyak hal mengenai keprihatinan akan kurangnya panggilan menjadi imam, suster, bruder dan frater kekal, secara khusus menjadi calon imam dan bruder MSF. Di samping itu juga dibicarakan daya upaya dan strategi dalam menjaring panggilan.
Berbagai persoalan diangkat termasuk latar belakang pemikiran dan budaya Kalimantan berkaitan dengan pemahaman hidup selibat. Namun menjadi pertanyaan, apakah kita sebagai MSF Provinsi Kalimantan hanya berhenti dan mengikuti pola pikir budaya Kalimantan atau mencari sebuah terobosan baru sebagai gerak bersama yang kiranya menjadi daya tarik tersendiri bagi Kaum Muda Katolik dan keluarga-keluarga Kristiani di bumi Kalimantan?
Dalam kerangka ini, kita hendaknya kembali melihat gerak langkah kesaksian hidup para Misionaris MSF awal yang berkarya di bumi Kalimantan, yang paling tidak telah melahirkan imam, suster maupun bruder pribumi. Saya rasa pola hidup dan gaya pastoral para pendahulu kita pada zaman lampau dapat kita jadikan pijakan dan pola pastoral kita dengan gaya yang berbeda sesuai dengan konteks hidup zaman sekarang.
Cara promosi panggilan melalui sharing dan membuka stan panggilan serta kunjungan keluarga memang penting. Namun kiranya selain cara ini, kita perlu mencari cara lain yang efektif dan menarik sebagai program dan gerakan bersama sebagai satu Tarekat MSF Provinsi Kalimantan.
Cara lain itu dapat kita tempuh dalam karya pastoral:
· Live in. Perlunya partisipasi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan selama beberapa hari bersama kaum lemah, miskin dan tersingkirkan. Kiranya model ini yang masih sulit kita terapkan. Dalam live in kiranya kita memperlu mempraktekan kerja tangan sebagaimana yang disuarakan oleh Pater Pendiri; “kerja tangan tidak mengotori tangan seorang religiuspun”. Dalam model ini kiranya kita perlu belajar pada tarekat lain seperti SJ dan CSsR.
Semoga keprihatinan yang kita alami bersama, tidak membuat kita terlena, tetapi marilah kita bangkit, bergerak bersama mulai dari sekarang untuk menebarkan jala agar menghasilkan penjala-penjala manusia yang baru bagi Gereja. Semoga dalam setiap derap langkah pelayanan pastoral, kita selalu ingat akan Sabda Tuhan; “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit” (Luk 10:2). Kesaksian hidup kita dalam kegembiraan akan cara hidup yang kita jalani mampu menjadi penerang bagi Kaum Muda Katolik dan keluarga-keluarga kristiani untuk melihat secara lebih jelas “indahnya” hidup sebagai seorang imam sekaligus religius.
Diakon Kopong Tuan MSF